Adopsi Bitcoin oleh Perusahaan
Dalam dunia yang semakin tidak pasti, stabilitas menjadi kata yang makin sulit didefinisikan. Bagi perusahaan, stabilitas keuangan merupakan fondasi untuk bertahan dan berkembang. Namun, bagaimana mungkin stabilitas itu terjaga jika fondasi nilai yang selama ini dijadikan rujukan terus tergerus oleh dinamika politik, intervensi bank sentral, dan ketidakterbukaan sistem keuangan? Di tengah kondisi ekonomi global yang tak menentu, Indonesia sebagai negara berkembang menghadapi dilema yang pelik. Satu sisi ingin menarik investasi dan menjaga pertumbuhan, namun di sisi lain dibelenggu oleh struktur moneter fiat yang semakin tidak relevan dan tidak efisien untuk dunia yang bergerak cepat secara digital dan terdesentralisasi. Inilah saatnya bagi perusahaan Indonesia mulai mempertimbangkan sebuah perubahan fundamental dalam strategi keuangan mereka: mengadopsi Bitcoin sebagai bagian dari cadangan perusahaan.
Degradasi nilai fiat bukanlah isu yang datang tiba-tiba. Ia adalah hasil akumulasi dari kebijakan moneter yang longgar, stimulus ekonomi yang tak terkendali, dan ketergantungan pada utang jangka panjang yang justru memperburuk ketahanan ekonomi suatu negara. Sejak pandemi melanda dunia, banyak negara termasuk Indonesia mengambil langkah-langkah ekspansif untuk menyelamatkan ekonomi domestik. Meskipun langkah ini tampak heroik dalam jangka pendek, efek jangka panjangnya membawa dampak yang tidak dapat dianggap remeh. Inflasi melonjak, nilai tukar melemah, dan biaya hidup meroket. Semua ini membuat daya beli masyarakat menurun secara drastis, dan hal itu tentu berdampak pada perusahaan—baik yang bergerak di sektor konsumsi, logistik, bahkan teknologi.
Dalam konteks ini, perusahaan yang bergantung sepenuhnya pada sistem fiat sebagai tempat menyimpan likuiditasnya akan menghadapi risiko yang kian besar. Bayangkan, jika perusahaan menyimpan miliaran rupiah dalam kas dan deposito berjangka hanya untuk menyaksikan nilai riil dari dana itu menyusut dari tahun ke tahun. Sementara itu, biaya operasional naik, harga bahan baku naik, dan daya beli konsumen menurun. Kondisi ini ibarat berlari di treadmill yang kecepatannya terus meningkat. Tanpa melakukan inovasi dan perubahan dalam pendekatan keuangan, banyak perusahaan hanya akan berjalan di tempat atau bahkan mundur perlahan tanpa disadari.
Bitcoin hadir sebagai respons dari kondisi sistem keuangan yang rapuh ini. Diciptakan pasca krisis finansial 2008, Bitcoin menawarkan alternatif yang lebih transparan, dapat diaudit oleh siapa pun, dan memiliki suplai terbatas yang tidak bisa dimanipulasi oleh siapa pun—termasuk oleh pemerintah atau bank sentral. Dalam struktur keuangan konvensional, uang bisa dicetak tanpa batas oleh bank sentral, menciptakan inflasi dan ketimpangan nilai. Sementara dalam Bitcoin, hanya akan ada 21 juta unit sepanjang sejarah manusia. Ini memberikan kepastian, kelangkaan, dan bentuk disiplin moneter yang tak bisa ditemui di sistem fiat.
Namun, argumen terbesar bukan sekadar soal kelangkaan atau desentralisasi. Yang jauh lebih penting adalah bahwa Bitcoin memungkinkan perusahaan untuk mengamankan nilai dan mempertahankan daya beli modal mereka dari waktu ke waktu. Sifatnya yang global menjadikan Bitcoin tak terpengaruh oleh krisis dalam satu negara tertentu. Sementara rupiah bisa jatuh karena gejolak politik dalam negeri atau penurunan cadangan devisa, Bitcoin tetap sama nilainya di Indonesia, Jepang, Nigeria, ataupun Argentina. Ini memberi perusahaan fleksibilitas untuk menjalankan operasi internasional dan mengelola risiko geopolitik dengan lebih baik.
Mengadopsi Bitcoin sebagai cadangan tidak berarti mengabaikan rupiah sepenuhnya. Yang dimaksud adalah diversifikasi. Sama seperti perusahaan menyimpan aset dalam bentuk properti atau emas, Bitcoin kini layak menjadi bagian dari portofolio tersebut. Bahkan, dalam banyak kasus, Bitcoin menawarkan likuiditas yang lebih tinggi dibandingkan emas fisik. Dengan pertumbuhan infrastruktur finansial yang mendukung Bitcoin—dari dompet digital, bursa, hingga layanan kustodian yang aman—perusahaan kini memiliki akses yang lebih mudah dan terjangkau untuk memiliki, menyimpan, dan mengelola Bitcoin sebagai bagian dari kas strategis mereka.
Tentu masih banyak yang ragu. Volatilitas harga Bitcoin kerap menjadi alasan utama mengapa perusahaan enggan menyentuhnya. Namun, argumen ini hanya berlaku jika Bitcoin diperlakukan sebagai instrumen spekulatif. Jika Bitcoin dipahami sebagai cadangan jangka panjang yang dilihat dalam horizon waktu lima hingga sepuluh tahun, volatilitas jangka pendek itu menjadi tidak relevan. Bahkan, dalam banyak studi, Bitcoin secara historis telah mengungguli seluruh kelas aset lainnya jika dilihat dalam jangka panjang. Nilainya terus meningkat secara eksponensial, bahkan setelah mengalami beberapa siklus penurunan harga.
Ketika perusahaan menyimpan fiat dalam rekening bank, mereka sebenarnya sedang mengalami financial leakage. Uang yang diam di rekening mengalami penyusutan nilai secara senyap karena inflasi. Jika inflasi mencapai 5% per tahun, maka dalam lima tahun dana itu kehilangan sekitar 25% daya belinya. Bandingkan jika dana itu diubah sebagian menjadi Bitcoin yang, berdasarkan tren historis, tumbuh puluhan hingga ratusan persen dalam jangka panjang. Artinya, dengan menyimpan Bitcoin, perusahaan bukan hanya mempertahankan nilai, melainkan berpotensi meningkatkan daya beli mereka di masa depan.
Perusahaan di negara lain sudah mulai mengambil langkah ini. MicroStrategy dari Amerika Serikat adalah contoh nyata. Mereka mengubah strategi keuangan perusahaan dengan mengganti cadangan kasnya menjadi Bitcoin. Hasilnya, valuasi perusahaan melonjak, bahkan lebih tinggi daripada perusahaan lain yang punya aset fisik atau teknologi canggih. Strategi ini membuka mata banyak perusahaan global. Mereka mulai menyadari bahwa Bitcoin bukan hanya alat pembayaran digital atau aset investasi, tapi juga alat lindung nilai terhadap inflasi dan kerusakan sistem keuangan fiat.
Indonesia punya potensi besar untuk menjadi pelopor adopsi Bitcoin di kawasan Asia Tenggara, bukan hanya di kalangan individu, tapi juga di tingkat korporasi. Saat ini, sebagian besar penggunaan Bitcoin di Indonesia masih terbatas pada aktivitas spekulatif atau trading. Padahal, manfaat sejati Bitcoin jauh lebih dalam daripada sekadar pergerakan harga harian. Jika perusahaan besar mulai mengambil langkah strategis untuk menyimpan sebagian kas mereka dalam bentuk Bitcoin, maka efek dominonya sangat luas. Ekosistem keuangan digital Indonesia akan tumbuh, edukasi masyarakat tentang uang akan meningkat, dan ketahanan ekonomi terhadap krisis global akan jauh lebih kuat.
Bitcoin juga sejalan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang kini menjadi tuntutan publik terhadap perusahaan. Setiap transaksi Bitcoin tercatat secara permanen di blockchain dan bisa diaudit secara publik. Ini sangat berguna untuk perusahaan yang ingin membangun kepercayaan dengan publik dan pemegang saham. Di saat banyak perusahaan menghadapi krisis kepercayaan karena skandal keuangan atau pelaporan palsu, kepemilikan Bitcoin yang transparan justru bisa menjadi nilai tambah reputasi.
Lebih dari itu, Bitcoin memberi perusahaan kesempatan untuk ikut serta dalam ekosistem keuangan global yang lebih inklusif. Banyak perusahaan di Indonesia masih sulit mengakses pendanaan internasional karena keterbatasan sistem keuangan domestik. Dengan memiliki Bitcoin, perusahaan punya aset global yang bisa digunakan sebagai agunan atau dijadikan alat pertukaran untuk kerja sama internasional. Ini membuka peluang baru yang sebelumnya tertutup oleh birokrasi dan hambatan regulasi.
Pemerintah Indonesia mungkin belum sepenuhnya siap untuk mengakui Bitcoin sebagai alat pembayaran sah. Namun itu tidak menghalangi perusahaan untuk menyimpan Bitcoin sebagai aset atau cadangan. Dalam banyak negara, status hukum Bitcoin sebagai komoditas atau aset investasi sudah cukup untuk memungkinkan perusahaan menyimpannya dalam neraca keuangan mereka. Dengan hadirnya standar akuntansi internasional seperti FSB 22, yang mengatur pencatatan aset digital dalam laporan keuangan, maka perusahaan Indonesia tidak lagi bisa berdalih bahwa adopsi Bitcoin belum memiliki kerangka hukum yang jelas.
Lebih penting dari semua itu, Bitcoin adalah ekspresi dari kedaulatan ekonomi. Dalam dunia yang makin bergantung pada utang luar negeri dan fluktuasi pasar global, memiliki Bitcoin adalah cara bagi perusahaan untuk mengambil kembali kendali atas nilai dan masa depan mereka sendiri. Ini bukan sekadar tentang teknologi, tapi tentang filosofi keberlanjutan dan kemandirian. Perusahaan yang berani mengambil langkah ini akan memimpin era baru, di mana keuangan tidak lagi dibatasi oleh wilayah geografis, kebijakan moneter, atau kepentingan elit keuangan global.