Eastparc Hotel, Pionir Bitcoin Indonesia

Eastparc Hotel, Pionir Bitcoin Indonesia

Melihat laporan keuangan PT Eastparc Hotel Tbk per Juni 2025, ada hal menarik yang menandakan mereka mulai membuka jalan baru dalam model bisnis, khususnya terkait adopsi aset digital. Dalam laporan arus kas, terlihat jelas bahwa perusahaan telah melakukan penempatan aset digital sebesar Rp4,52 miliar dan juga mencatat penerimaan dari penjualan aset keuangan digital Rp317 juta. Catatan akuntansi menyebutkan bahwa aset digital ini berupa aset kripto yang diklasifikasikan sebagai aset tak berwujud dengan masa manfaat tak terbatas, dicatat berdasarkan biaya perolehan, dan disimpan dengan layanan kustodian pihak ketiga.

Langkah ini tidak bisa dianggap kecil. Untuk ukuran perusahaan perhotelan, penempatan dana pada kripto menandakan adanya visi jauh ke depan—mereka tampaknya ingin mengikuti jejak perusahaan global yang lebih dulu mengakui Bitcoin dalam neraca, seperti MicroStrategy. Jika Eastparc konsisten menambah eksposurnya terhadap Bitcoin dan menjadikannya bagian dari strategi treasury, mereka berpotensi menjadi pionir adopsi Bitcoin di Indonesia dalam konteks perusahaan publik.

Alasan mengapa langkah ini strategis dapat dijelaskan dari beberapa sisi. Pertama, industri perhotelan sangat erat kaitannya dengan siklus ekonomi dan pariwisata. Ketika ekonomi melemah atau terjadi krisis, okupansi hotel biasanya menurun, sehingga laba perusahaan ikut tertekan. Dengan memasukkan Bitcoin dalam neraca, perusahaan tidak hanya bergantung pada arus kas operasional, tetapi juga memiliki cadangan nilai yang bersifat non-sovereign, tahan inflasi, dan cenderung memberikan imbal hasil jangka panjang. Dalam konteks Indonesia, yang sering menghadapi fluktuasi rupiah akibat kondisi global, Bitcoin bisa menjadi lindung nilai yang kuat.

Kedua, perusahaan bisa menggunakan Bitcoin bukan hanya sebagai instrumen simpanan, tetapi juga sebagai diferensiasi brand. Bayangkan jika Eastparc menjadi hotel pertama di Indonesia yang menerima pembayaran Bitcoin secara langsung atau mengintegrasikan pengalaman berbasis kripto dalam layanan hospitality mereka. Hal ini bukan sekadar gimmick, melainkan strategi positioning yang menempatkan mereka dalam radar investor global, komunitas kripto, serta wisatawan internasional yang semakin terbiasa menggunakan aset digital. Kombinasi antara kekuatan brand hotel premium di Yogyakarta dengan adopsi teknologi finansial mutakhir akan menciptakan nilai tambah yang sulit disaingi oleh kompetitor domestik.

Ketiga, dari perspektif keuangan, laporan posisi keuangan menunjukkan ekuitas yang kuat: lebih dari Rp473 miliar dengan liabilitas relatif rendah (hanya sekitar Rp20 miliar). Rasio ini menunjukkan bahwa perusahaan memiliki keleluasaan untuk bereksperimen dengan model investasi baru tanpa mengganggu stabilitas neraca. Dengan kas dan setara kas mencapai Rp15 miliar, Eastparc punya ruang untuk secara bertahap mengonversi sebagian likuiditasnya ke Bitcoin, tanpa harus menanggung risiko likuiditas yang berlebihan. Jika dalam lima tahun ke depan Bitcoin terus menguat seperti tren historisnya, posisi ini akan memperkuat nilai ekuitas dan bisa memberikan keuntungan kapital yang jauh melampaui imbal hasil deposito atau instrumen keuangan konvensional.

Dalam horizon lima tahun, skenario terbaik adalah Eastparc bukan hanya tercatat sebagai perusahaan perhotelan, melainkan juga sebagai perusahaan publik Indonesia pertama yang berhasil membuktikan bahwa Bitcoin bisa memperkuat ketahanan finansial. Ini akan membuat mereka lebih menarik di mata investor institusi maupun ritel, serta membuka akses pada jaringan global yang selama ini lebih memperhatikan adopsi Bitcoin di perusahaan publik luar negeri. Pada saat yang sama, langkah ini bisa memberi inspirasi bagi perusahaan-perusahaan Indonesia lainnya—bahwa menjaga kekuatan neraca tidak lagi cukup hanya dengan aset konvensional, melainkan perlu didukung aset digital yang tak terpengaruh oleh kebijakan moneter suatu negara.

Namun tentu ada tantangan besar yang perlu diantisipasi. Regulasi di Indonesia masih cenderung konservatif terhadap aset kripto. OJK dan Bank Indonesia belum memberi ruang luas untuk pencatatan Bitcoin sebagai aset keuangan di neraca korporasi secara transparan seperti di Amerika Serikat dengan standar FASB terbaru. Karena itu, Eastparc harus piawai menavigasi ranah regulasi, menjaga kepatuhan, sambil membangun narasi publik bahwa langkah mereka bukan sekadar spekulasi, tetapi strategi manajemen risiko dan inovasi finansial. Dengan menyampaikan kepada pasar bahwa Bitcoin adalah cadangan nilai, bukan instrumen trading semata, mereka bisa lebih mudah mendapatkan legitimasi.

Visi semacam ini sangat penting, karena lima tahun ke depan dunia kemungkinan akan melihat perubahan besar pada sistem moneter global. Jika dolar Amerika mulai kehilangan dominasinya, negara-negara berkembang seperti Indonesia akan lebih rentan terhadap gejolak mata uang. Dalam kondisi seperti itu, perusahaan yang lebih dahulu mengadopsi Bitcoin akan memiliki posisi tawar lebih tinggi. Eastparc bisa memanfaatkan momentum itu untuk mengukuhkan identitasnya, bukan hanya sebagai hotel mewah di Yogyakarta, tetapi sebagai pionir transformasi moneter di tingkat korporasi Indonesia.

Dengan kata lain, keberanian Eastparc menempatkan sebagian asetnya ke kripto adalah langkah kecil yang bisa membawa dampak sangat besar. Jika dilanjutkan secara konsisten, dalam lima tahun ke depan mereka bisa meraih keberuntungan finansial yang jauh melampaui industri perhotelan konvensional, sekaligus tercatat dalam sejarah sebagai pionir adopsi Bitcoin di Indonesia.

16 Views