Persediaan Bitcoin vs Beras
Di sebuah negeri yang kaya akan hasil bumi, rakyat selalu menggantungkan harapan pada janji pemerintah untuk menjaga stabilitas pangan. Namun harapan itu tidak selalu berjalan mulus. Rumor tentang beras rusak 400 ton yang menumpuk di gudang pemerintah sempat mencuat, mengguncang rasa kepercayaan publik. Bayangan tentang uang rakyat yang dipakai membeli bahan pangan, lalu dibiarkan hingga membusuk tanpa manfaat, menimbulkan kekecewaan mendalam. Sebab pada akhirnya, beban kerugian itu tetap kembali ke pundak rakyat kecil yang membayar pajak, sementara manfaat dari barang yang seharusnya menjadi kebutuhan pokok justru hilang begitu saja. Fenomena ini bukan sekadar cerita tentang pangan, melainkan tentang bagaimana sebuah sistem inventori dikelola. Dari sana muncul sebuah pertanyaan: apakah ada cara lain, strategi lain, atau bahkan paradigma baru dalam mengelola cadangan yang nilainya tidak habis dimakan waktu, tidak hancur oleh kelembaban gudang, dan tidak membusuk di tangan birokrasi?
Perbandingan ini menarik bila disandingkan dengan Bitcoin. Meski keduanya berbeda jauh—beras adalah kebutuhan primer yang langsung dikonsumsi, sementara Bitcoin adalah aset digital yang tak bisa dimakan—keduanya bisa diletakkan dalam kerangka yang sama: bagaimana sebuah cadangan dikelola untuk tujuan kesejahteraan rakyat. Beras rusak menggambarkan kelemahan sistem inventori konvensional, di mana aset fisik yang cepat rusak, bila tidak dikelola dengan tepat, justru berubah menjadi beban. Bitcoin, di sisi lain, hadir sebagai bentuk inventori digital yang tidak mengenal lapuk, tidak terikat pada ruang gudang, dan bisa disimpan lintas generasi tanpa degradasi nilai intrinsiknya.
Dalam kasus beras rusak, kelemahan utamanya terletak pada keterbatasan daya simpan. Setiap ton beras yang disimpan membutuhkan ruang, biaya perawatan, dan pengawasan. Gudang harus dijaga dari kelembaban, hama, dan praktik kecurangan. Sistem birokrasi yang lamban sering kali memperparah keadaan, membuat distribusi terhambat, sementara beras yang menunggu nasib di gudang perlahan kehilangan kualitasnya. Inventori semacam ini pada dasarnya memaksa negara untuk terus menanggung biaya ganda: biaya pembelian dari uang rakyat dan biaya perawatan yang tidak pernah berhenti, dengan risiko kehilangan kualitas yang sangat tinggi. Akhirnya, cadangan yang seharusnya menjadi benteng rakyat justru berbalik arah menjadi simbol kerugian kolektif.
Bitcoin menawarkan narasi yang sangat berbeda. Ia tidak membutuhkan gudang fisik, tidak mengenal jamur, tidak dirusak oleh tikus, dan tidak bergantung pada musim. Inventori Bitcoin hanya butuh pengelolaan kunci digital, infrastruktur jaringan, dan mekanisme keamanan. Sekali sebuah negara, perusahaan, atau individu menempatkan nilai dalam bentuk Bitcoin, maka inventori tersebut bisa disimpan tanpa khawatir tergerus oleh fisik atau lingkungan. Tentu, nilai Bitcoin tetap berfluktuasi mengikuti dinamika pasar global, namun inventori ini tidak mengenal konsep “rusak” sebagaimana yang dialami beras. Dengan kata lain, kelemahan utamanya ada pada volatilitas harga, bukan pada kerusakan barang.
Namun, menyamakan beras dengan Bitcoin bukan berarti mengaburkan fungsi dasarnya. Beras adalah komoditas nyata yang langsung mempengaruhi hidup manusia. Bila cadangan beras habis atau rusak, rakyat miskin langsung merasakan dampaknya dalam bentuk harga pangan yang melambung dan perut yang lapar. Bitcoin tidak bisa menggantikan fungsi itu. Tetapi sebagai instrumen cadangan nilai, Bitcoin bisa diposisikan sebagai penopang keuangan negara. Bayangkan sebuah sistem di mana uang rakyat tidak hanya dipakai untuk membeli cadangan beras yang bisa rusak, melainkan juga ditempatkan dalam inventori Bitcoin yang tahan waktu. Dengan begitu, ketika negara butuh dana tambahan untuk impor beras baru atau intervensi pasar, nilai Bitcoin yang tersimpan bisa dijual kembali untuk menutup kebutuhan. Inventori ini bersifat likuid, global, dan transparan, berbeda dengan tumpukan karung beras di gudang yang rentan raib tanpa jejak.
Strategi inventori beras rusak memberi pelajaran berharga tentang bagaimana manajemen yang buruk bisa mengubah aset menjadi liabilitas. Pada sisi lain, strategi inventori Bitcoin menunjukkan bagaimana sebuah sistem bisa mengamankan nilai tanpa perlu biaya tambahan untuk perawatan fisik. Namun, keduanya juga punya sisi gelap masing-masing. Beras rusak tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga memperlihatkan betapa rapuhnya sistem logistik pangan yang dikelola secara sentral. Bitcoin, meskipun tidak rusak secara fisik, tetap menghadapi tantangan dalam bentuk aksesibilitas dan literasi digital. Tidak semua rakyat mampu langsung memahami, apalagi menggunakan, inventori digital ini. Bila pengelolaannya diserahkan pada segelintir elit, manfaat Bitcoin bisa tereduksi menjadi instrumen spekulatif semata, bukan sebagai cadangan nilai untuk kepentingan bersama.
Di titik inilah letak dilema yang menarik. Negara yang bergantung pada inventori fisik seperti beras akan terus berhadapan dengan masalah klasik: distribusi, penyimpanan, dan kerusakan. Sementara negara yang mencoba beralih atau menambah inventori digital seperti Bitcoin, akan menghadapi masalah modern: volatilitas, regulasi, dan kepercayaan publik. Tetapi di antara dua ekstrem itu, ada peluang untuk membangun keseimbangan. Beras tetap harus ada sebagai cadangan pangan nyata, karena rakyat tidak bisa makan kode digital. Namun Bitcoin bisa hadir sebagai lapisan cadangan keuangan yang menjamin agar kerugian akibat rusaknya beras tidak sepenuhnya membebani keuangan negara. Bila suatu ketika terjadi lagi kasus ratusan ton beras rusak, negara masih punya cadangan nilai yang bisa digunakan untuk membeli kembali pangan baru tanpa menambah beban utang.
Kelebihan strategi inventori Bitcoin dibanding beras jelas terletak pada sifatnya yang tahan lama, tidak memerlukan biaya perawatan besar, dan bisa dipindahkan lintas batas dengan mudah. Kekurangannya, ia tidak bisa langsung memenuhi perut rakyat dan harganya fluktuatif. Sementara kelebihan inventori beras adalah ia nyata, langsung bisa didistribusikan untuk mengatasi kelaparan, dan relevan dengan kebutuhan harian masyarakat. Kekurangannya, ia rapuh, mudah rusak, dan sangat boros dalam biaya penyimpanan. Dari dua gambaran ini, jelas bahwa solusi yang sehat bukan memilih salah satu, melainkan mengelola keduanya dengan cara yang saling melengkapi.
Narasi tentang beras rusak yang merugikan rakyat membuka mata bahwa uang pajak tidak boleh lagi dikelola dengan paradigma lama. Barang yang cepat rusak tidak bisa dijadikan satu-satunya sandaran cadangan negara. Di era digital ini, Bitcoin menawarkan alternatif inventori yang lebih efisien dan tahan lama. Memang tidak bisa langsung menggantikan pangan, tetapi ia bisa menjadi fondasi cadangan nilai agar setiap kerugian fisik tidak selalu bermuara pada defisit keuangan. Bila strategi inventori ini dijalankan dengan visi panjang, rakyat tidak hanya mendapat jaminan pangan, tetapi juga jaminan stabilitas moneter yang lebih kokoh.